Pelajaran Membanting Sapi

12141889_1642088189382372_1873154182_n

bizzarebeyondbelief.files.wordpress.com

(Terbit pertama kali di laman detik.com, 15 Agustus 2017)

RASA penasaran bisa menyergapmu di mana saja, termasuk di jalan. Paling bikin gregetan jika itu terjadi saat kau mengendarai sepeda motor. Pagi ini misalnya, Akbar bermotor dari rumah menuju kantornya. Lampu merah menghentikannya di belakang seorang lelaki paruh baya berjaket seragam suatu instansi pemerintah. Jaket berwarna hitam dengan aksen biru pada bagian lengan, dan tulisan berwarna biru mencolok di bagian punggung: SETETES MANI SEJUTA HARAPAN.

Akbar, Pegawai Negeri Sipil yang baru dua bulan lalu merayakan ulangtahunnya yang ke-31 itu yakin, jaket yang dikenakan pria di depannya adalah seragam sebuah kantor pemerintah. Desainnya kaku sebagaimana birokrasi di negeri ini. Akbar pun ingat kalau jaket semacam itu biasanya memuat selarik slogan, yang juga kaku. ORANG BIJAK TAAT PAJAK, itu seragam Kantor Pajak. SETETES DARAH MENYELAMATKAN NYAWA, pasti PMI. DUA ANAK LEBIH BAIK, tidak salah lagi, BKKBN. Bersua slogan yang mengandung kata ‘mani’ buat Akbar adalah pengalaman pertama.

Lampu hijau menyala. Akbar menjalankan sepeda motornya dengan laju sedang untuk mempertahankan posisi tetap berada di belakang lelaki berjaket misterius yang menunggangi sepeda motor bebek tua itu. Ia sempat berpikir, kurang tidur mungkin membuat akal dan penglihatannya sedikit kacau. Ia mengamati lebih cermat, tapi kata-kata di depannya tidak berubah sehuruf pun: SETETES MANI SEJUTA HARAPAN.

Lelaki paruh baya itu bermotor dengan santai. Pelan-pelan Akbar menarik gas, mencoba menyejajarkan diri seraya mencuri lirik bagian depan jaket untuk mencari semacam simbol atau nama. Tindakan itu tak bisa ia lakukan lama-lama. Ia takut terserempet kendaraan dari depan atau dari belakang, dan tentu saja ia merasa sungkan. Tapi, dari satu dua intipan, ia menemukan kata “Dirjen” di dada kanan jaket bapak itu. Berarti benar, seragam instansi pemerintah, pikirnya.

Rasa penasaran bisa menyergapmu di mana saja. Dan bila tak terpecahkan, perasaan itu sama menyebalkan dengan tante-tante berkening lentur dalam sinetron, yang bernasib mujur meski para pemirsa tak putus-putus mendoakan kematiannya di dalam maupun di luar cerita.

Rasa penasaran semacam itu yang memacu Akbar bergegas memencet mesin absen setibanya di kantor, lalu menuju kantin untuk memesan kopi dan mencari informasi lewat telepon pintar yang ia punya. Googlemengarahkannya pada situs resmi sebuah Balai Besar Inseminasi Buatan. Sebuah Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal —Dirjen—Peternakan dan Kesehatan Hewan

“OH, mani sapi,” Pak Budiman terbahak. Kantin sedang sepi. Selain Akbar dan Pak Budiman, hanya ada Nando yang sedang duduk sendiri di sudut, asyik memencet-mencet layar telepon pintarnya.

“Itulah sebabnya Nabi menganjurkan kita mengenakan pakaian polos saat salat berjamaah,” Pak Budiman berceramah. “Kasihan laki-laki kesepian seperti kamu. Susah fokus. Susah khusyuk. Sama mani sapi saja berahi.”

Akbar merasa masygul. Ia memang sedang menjalani hubungan jarak jauh dengan Mita, istrinya. Namun, itu bukan berarti ia akan berahi dengan mudah hanya dengan melihat kata manitercetak tebal-tebal di punggung seorang lelaki paruh baya. Ia ingin protes, tapi seperti yang kau tahu, umang-umang dan kebanyakan PNS muda adalah dua spesies yang sama-sama penakut.

“Eh, ngomong-ngomong soal sapi, sudah bayar iuran kurban belum?” tanya Pak Budiman kepada Akbar.

“Iuran apa, Pak?” Akbar bertanya balik.

“Iuran kurban. Iuran tiap bulan untuk beli sapi kurban tahun depan.”

Akbar mengernyit. “Sejak kapan, Pak?

“Sejak bulan ini. Itu hasil rapat kemarin. Tidak ikut?”

“Ikut, Pak. Tapi…”

“Nah, ‘kan? Apa saya bilang? Kamu itu kesepian. Suka kurang fokus. Kurang menyimak.”

Akbar kembali kehilangan kata-kata.

“Nantilah, kalau tunjangan kinerja sudah cair, baru kau bayar.”

“Tetap saja berat, Pak.”

“Iya, tapi tidak seberat membanting sapi ‘kan?” sahut Pak Budiman sebelum meneguk kopinya.

SEBETULNYA, Akbar memang pernah melihat seekor sapi jantan dewasa dijatuhkan oleh, bukan empat, bukan tiga, bukan dua, melainkan satu orang lelaki saja. Satu orang lelaki berlengan gempal dan bertelapak tangan tebal bernama Pasisa Usman.

Saat itu Akbar baru saja masuk SMP, dan bapaknya pergi tanpa pamit ke Pulau Irian untuk mengejar kekasih gelapnya. Tak ada lagi yang menyuruh Akbar mencabuti ilalang di halaman rumah, dan menghukumnya bila mangkir. Di musim hujan, tak perlu waktu lama hingga halaman rumah Akbar berubah menjadi arena petak umpet yang selesa bagi beberapa anggota keluarga reptilia.

Menjelang Hari Raya Kurban di tahun itu, tiga ekor sapi titipan mesjid kompleks telah tertambat di sana, menikmati rumput-rumput segar sebagai penghiburan di hari-hari penghabisan. Di lain pihak, pemilik rumah disenangkan oleh adanya tukang-tukang kebun berkaki empat yang tidak sekali pun meminta uang sebagai upah. Simbiosis mutualisme itu berlangsung tak sampai seminggu. Tepat setelah orang-orang bubar dari Salat Ied, Pasisa Usman segera mengambil ancang-ancang. Ia mengelus kepala sapi yang akan disembelih pertama kali, lalu membisikkan sesuatu di telinga si calon korban.

Tiba-tiba sapi itu bergerak maju seraya menundukkan diri sehingga sepasang tanduknya yang runcing seolah hendak menujah perut Pasisa Usman. Lelaki berusia hampir separuh abad itu mundur setengah langkah sambil mencengkeram tanduk-tanduk tersebut kuat-kuat. Si sapi kembali meronta, yang ditanggapi Pasisa Usman dengan elakan tipis ke kiri. Tak dinyana, gerakan itu cuma pembuka. Dengan satu tarikan dan separuh puntiran, si sapi tersentak. Keempat kakinya terkatung-katung di udara selama sepersekian saat, sebelum terdengar gedebam berat, tanda bahwa tubuh si sapi telah mendarat di haribaan Ibu Pertiwi.

Akbar bertepuk tangan, juga beberapa orang lain yang ikut menonton atraksi gratis itu. Lengan Pasisa Usman masih mengunci leher sapi kala lelaki itu memanggil orang-orang membantunya, menahan kaki-kaki si hewan malang untuk meredam sisa-sisa pemberontakan. Dari kerumunan penonton, Ustad Mansyur mendekat sembari merapal syahadat, salawat dan doa penyembelihan.

Setelah sapi kedua dan ketiga berhasil dibantingnya, juga tanpa mengeluarkan banyak keringat, Pasisa Usman mendekati Akbar dan menanyakan ibunya. Beberapa hari kemudian, lelaki itu bekerja di rumah Akbar sebagai tukang kebun, menggantikan sapi-sapi yang telah diantarkannya ke alam baka.

“Tak semua orang bisa melakukan itu,” kata Pasisa Usman saat Akbar bertanya kepadanya perihal cara membanting sapi.

“Hanya mereka yang menguasai langga. Itu pun, setidaknya sudah lima kali pitodu. Lima kali biji matamu ditetesi minyak aneh yang perih membakar itu.”

“DUA ratus ribu sebulan? Untuk iuran kurban?” tanya Mita, separuh menjerit.

Akbar mengangguk. Beberapa detik setelah itu ia sadar kalau ia baru saja melakukan gerak tubuh paling sia-sia di dunia, sebab istrinya sedang bertanya dari seberang laut melalui sambungan telepon. “Iya,” jawabnya kemudian.

“Itu namanya pungli.”

“Sumbangan sukarela.”

“Pungli! Sumbangan sukarela tak patok harga begitu.”

Tak mampu mendebat istrinya, Akbar hanya mendengkus.

“Ditambah potongan-potongan yang lain, sisa berapa gajimu?”

“Masih ada tunjangan kinerja. Masih cukup.”

“Kau di sana punya pengeluaran sendiri. Aku di sini juga, bahkan lebih besar. Kau tahu ‘kan, setiap bulan aku harus membayar uang kos, susu dan popok si kecil, gaji untuk pengasuh, biaya makan, uang bensin dan banyak lagi?”

Akbar sebenarnya ingin menanyakan gaji Mita, yang di seberang juga bekerja sebagai PNS. Namun ia lekas-lekas mengusir niat itu. Lelaki sejati tidak akan mengorek penghasilan istrinya. Ia hanya berucap lemah, “Iya, aku akan mulai berhemat.”

Suami istri yang baru dua tahun berumah tangga itu kemudian sama-sama terdiam. Sejenak Akbar membayangkan, situasi mungkin akan lebih menyenangkan jika permohonan mutasi Mita segera disetujui kepegawaian.

“Tahu tidak,” Akbar berusaha mengganti topik pembicaraan, “di Bosnia sana para penggembala sapi biasanya berjalan di belakang hewan gembalaan mereka.”

Akbar tak tahu apakah Mita benar-benar menyimak. Ia melanjutkan, “Bosnia daerah konflik. Ranjau darat ditanam di mana-mana. Para gembala menggunakan sapi-sapi mereka sebagai detektor hidup. Kalau si sapi aman, si gembala ikut berjalan. Kalau si sapi meledak, cari jalan lain.”

“Seperti di film saja,” tanggap Mita.

“Ya, memang film. A Perfect Day. Film bagus, meski Olga Kurylenko tidak terlalu bagus di situ.”

“Tuh ‘kan?” Sergah Mita. “Nonton film sendiri lagi. Berapa kali sudah aku bilang, nonton film itu harus berdua!”

“Tapi, sayang…”

“Pasti kamu cuma mau lihat bodi seksinya Olga.”

“Bukan begitu…”

“Dasar mesum!”

Ada banyak pertanyaan di benak Akbar, terutama soal mengapa kebanyakan orang, dengan semena-semena, gemar menyamakan isi kepalanya dengan isi tong sampah. Namun, pertanyaan-pertanyaan tersebut tertahan di kerongkongan, sebab istrinya telah menutup telepon. Mita merajuk dan itu berarti Akbar akan susah tidur seperti malam sebelumnya.

Dengan perasaan gemas ia meletakkan telepon genggamnya, menyalakan laptop, dan membuka folder berisi film-film bajakan. Diputarnya kembali film yang baru saja memantik pertengkaran, dan langsung menuju adegan favoritnya, saat Olga Kurylenko berdebat dengan Benicio Del Torro tentang apakah mereka harus melanjutkan perjalanan dengan melindas bangkai sapi yang melintang di tengah jalan, atau menunggu bala bantuan. Di saat itulah, perlahan, Akbar memasukkan tangan ke dalam celananya.

Beberapa detik kemudian, setelah Olga keluar dari frame, tangan itu masih berada di sana.

“Cengkeraman dan kegesitan itu penting, tapi bukan yang terpenting.” Akbar teringat kata-kata itu. Benicio del Toro sedang termangu dalam sorotan close up. Mata kurang-tidur sang aktor mengingatkan Akbar pada tatapan bekas tukang kebunnya. Mengingatkannya pada lengan gempal dan telapak tangan tebal penakluk sapi yang pernah mencengkeram bahu dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang, bertahun-tahun lalu, saat ibunya sedang keluar.

“Yang terpenting adalah menguasai pikiran lawan dengan menatap matanya. Hanya dengan menatap matanya,” bisik Pasisa Usman ketika itu seraya melucuti celana Akbar.


Catatan
:
1. Langga: seni beladiri khas Gorontalo.
2. Pitodu: upacara kenaikan tingkat dalam langga.

Redaksi detikcom menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com.

Tinggalkan komentar