Kucing Mati dan Perihal Lain yang Nyaris Terjadi

5806ed5bd1f64d52ce756eaccc7ac637_XL.jpg

(Cerpen ini tayang pertama kali di situs jakartabeat.net. Temukan tulisan-tulisan bagus lainnya di sana)

NYARIS menabrak kucing dan benar-benar menabrak kucing adalah dua hal berbeda. Yang pertama adalah kejadian biasa. Hampir semua pengendara—bermotor maupun tidak—pernah mengalami. Memang belum ada catatan statistik yang pasti. Namun, kita barangkali bisa bersepakat, nyaris menabrak kucing adalah kasus umum yang kurang menyenangkan. Keumuman dan kekurangmenyenangkannya hanya bisa ditandingi oleh sehelai rambut yang kau temukan menyembul dari sela-sela makananmu.

Sementara, benar-benar menabrak kucing adalah peristiwa yang jarang terjadi, yang bukan hanya kurang menyenangkan, tapi juga sangat menakutkan. Ketakutan itu biasanya akan tertanam di benakmu dalam waktu cukup lama. Bayangkan saja, seekor kucing, makhluk bertubuh lentur susah diatur itu, melesat tiba-tiba di depan mobil atau sepeda motormu. Kau mengerem mendadak, setir terguncang sejenak, roda sedikit terlonjak, dan tahu-tahu, kau menemukan kucing itu telah dalam keadaan tak bergerak. Atau lebih parah lagi, kau mendapatinya sebagai daging lumat di bawah kulit berbulu yang tergencet seperti keset busuk.

Saking menakutkannya, kucing mati adalah properti yang sering digunakan para sineas Jepang dalam film-film horor mereka. Mungkin kau akan lebih ketakutan lagi saat tahu, dalam film-film horor Jepang jarang ditemukan tulisan yang berarti: “Tak ada satu pun binatang yang disakiti dalam pembuatan film ini” di bagian kredit akhir, sebagaimana umumnya film yang melibatkan binatang.

Dikejar rasa takut adalah satu hal. Kehilangan sehelai pakaian, lalu terserang masuk angin gara-gara berkendara dengan dada telanjang adalah hal lain. Di daerahku ada sebuah kepercayaan, seekor kucing yang mati tertabrak harus diperlakukan secara hormat. Kau harus turun dari kendaraanmu, lalu membuka baju yang kau kenakan saat itu untuk membungkus bangkai kucing. Tentu kucing itu harus dikubur, bersama bajumu tadi.

“Apa yang terjadi jika kalau itu dilanggar?” tanya Winda setelah ia memesan kopi gelas ketiga.

“Tergantung,” aku menyeruput kopiku. “Tergantung berapa banyak yang kau lakukan. Atau berapa banyak yang tidak kau lakukan.”

Winda melempar tatapan tak mengerti. Sepasang matanya yang sudah kecil kini terlihat makin mengecil.

“Kau harus melakukan tiga hal: berhenti, membungkus bangkai kucing yang kau tabrak dengan bajumu, lalu menguburkannya.”

“Jadi, akan berbeda hukumannya antara orang yang turun tapi tak menguburkan, dan yang tidak turun sama sekali, begitu?”

“Juga berbeda antara yang mau membungkus sekaligus mengubur bangkai, dengan yang hanya mengubur tanpa membungkus sama sekali.”

“Dan membungkusnya harus dengan baju yang dikenakan saat itu?”

“Harus dengan baju yang dikenakan saat itu.” Winda termangu. Tak lama kemudian kopinya tiba.

***

Ini adalah takhayul turun temurun di daerah kami. Dan sebagaimana umumnya sebuah takhayul, cara terbaik untuk membuktikannya adalah dengan membiarkan orang lain melakukan apa yang dipantangkan, lalu melihat apa yang terjadi. Tentu saja, di antara kami tidak banyak yang punya cukup nyali untuk melakukan hal ini. Kecuali, jika kepepet, atau terlalu sayang pada bajunya.

Tanda tangan artis seperti Arman Maulana bisa jadi satu alasan mengapa seseorang begitu menyayangi sepotong baju. Itulah sebabnya, ketika suatu malam ia menabrak mati seekor kucing, Pendi dengan tegas menolak mengafani bangkai hewan malang itu dengan kaus yang sedang ia kenakan. Kaus bertanda tangan Arman Maulana, yang ia dapatkan kala band GIGI manggung di ibukota kabupaten beberapa bulan sebelumnya.

“Kualat kau, Pendi,” ujar seseorang di antara kami.

Pendi tetap pada pendiriannya. Kucing itu ia biarkan terkubur telanjang. Demi Arman Maulana. Maka, semua orang di kampung kami seolah mendapat jawaban ketika kemudian Pendi mulai mengalami sejumlah kesialan yang bikin bulu kuduk bergidik. Beberapa orang berpendapat, kesialannya dimulai pada 27 April 2014, saat Liverpool, klub asal Inggris yang ia cintai mati-matian itu, dikalahkan Chelsea di kandangnya sendiri pada lanjutan Liga Inggris tahun itu.

Aku sendiri punya pendapat berbeda. Benar kekalahan melawan Chelsea itu menyakitkan sekaligus memalukan. Steven Gerard terpeleset, gawang mereka dibobol dua kali tanpa balas, dan peristiwa itu terjadi di Anfield. Namun, anak-anak Liverpool yang waktu itu dilatih Brendan Rodgers kalah oleh tim yang setara kekuatan dengan mereka; dan kekalahan itu pun belum bisa menggoyahkan mereka di puncak klasemen. Liverpool masih yang berpeluang paling besar untuk juara di musim itu, sekaligus menyamai rekor musuh bebuyutan mereka, Manchester United, dalam hal koleksi trofi liga. Rangkaian kesialan Pendi menurutku baru benar-benar dimulai pada satu pekan setelahnya, saat Livepool melawat ke Selhurst Park, markas Crystal Palace.

Waktu itu kami ramai-ramai menonton pertandingan di sebuah kafe. Menit ketujuh belas, Allen menyundul bola hasil sepakan pojok Gerrard ke arah gawang. Gol untuk Liverpool. Sekitar setengah jam kemudian, Sturridge menggiring bola dari arah kanan ke jantung pertahanan Palace, mengecoh Mariappa sebelum melakukan tembakan terarah menyusur tanah yang tak dapat dicegat kiper Esperoni.

Sorak-sorai Pendi bikin telinga kami makin pekak saat sang pencetak angka terbanyak di Liga saat itu, Luis Suarez, membuat gol dengan kaki kirinya sehingga skor menjadi 3-0. Dalam posisi itu, jelas Pendi adalah yang paling bahagia di antara kami. Liverpool nyaris juara!

Namun, kau tahu, yang disebut nyaris juara tentu berbeda dengan benar-benar juara. Malam itu, Pendi melihat suatu peristiwa yang begitu mengerikan untuknya. Mendadak, Crystal Palace bermain seperti kesetanan. Tidak, mereka bermain seperti kerasukan malaikat. Hanya butuh sebelas menit buat mereka—Delaney satu gol, Gayle dua gol, sehingga total tiga gol bersarang ke gawang Liverpool yang dijaga Mignolet. Kedudukan pun imbang sampai peluit panjang dibunyikan. Gerrard, Suarez, dan Sturridge terlihat terisak di sana, sementara Pendi tak kalah terguguk di depan layar besar yang digelar pengelola kafe.

Selanjutnya, seperti yang mungkin bisa kau ingat, Liverpool digeser Manchester City; dan posisinya tetap seperti itu sampai akhir musim. Semakin panjanglah sejarah kepecundangan mereka di Liga Inggris. Sejak 1991. Dan itu bisa kukatakan sebagai satu-satunya kesialan kelas impor, karena datangnya jauh dari Inggris. Kesialan-kesialan Pendi selanjutnya lebih bersifat lokal, khas kampung kami. Pertama, ayam-ayam peliharaannya mati kena penyakit. Lalu rumahnya berhamburan ke udara dibelasah puting beliung. Kemudian, hanya sekitar sebulan setelah rumah itu selesai direnovasi, giliran motor balapnya terhantam sebuah mobil truk sebelum terperosok ke dalam jurang. Pendi sendiri mengalami lebam di kening kiri, lecet di siku kiri, dan patah tulang di hampir semua bagian tubuh yang tersisa. Ibunya pingsan empat kali saat dikabari soal ini.

“Semua karena ia telah melanggar apa yang telah dipercaya orang-orang tua,” bisik seseorang.

“Betul. Kucing adalah binatang kesayangan nabi,” timpal yang lain.

“Ya. Kucing tidak patut diperlakukan tidak hormat, bahkan secara tak sengaja,” sambung entah siapa.

Lalu, tanpa sepengetahuan Pendi, Bapaknya menggali kembali kuburan kucing di tepi jalan itu, dan menguburkan bangkai tersebut dengan kaus bertanda tangan Arman Maulana.

“Kutukan itu berhenti?” tanya Winda. Hampir habis gelas kopi keempat dan ia tampak masih tertarik memesan lagi.

Aku mengangkat bahu.

“Kok tidak tahu?”

“Ya, harusnya seperti itu. Tapi melihat bagaimana kau kemarin mencampakkannya, aku tidak yakin kutukan itu telah berakhir.”

Winda nyaris tersedak.

***

Aku ingat, guru SMA-ku pernah menjelaskan, orang-orang bijak di zaman lampau memiliki sistem pengetahuan yang unik untuk menjaga kaumnya dari bahaya. Hanya saja, karena pengetahuan purba kerap sukar dijelaskan secara ringkas, maka para leluhur pun menggunakan jalan pintas: Takhayul.

Misalnya, dilarang makan nasi kuning dalam kamar. Jika melanggar, wawalo alias setan rumah bakal mengamuk dan membuatmu sakit berhari-hari. Tidak ada penjelasan mengapa wawalo tak menyukai nasi kuning. Apakah ia tak menyukai nasi, atau ia tak menyukai wana kuning, atau ia hanya membenci kombinasi keduanya, atau ia hanya membenci kombinasi keduanya bila dimakan di dalam kamar. Tidak ada. Tetapi, kata guruku, orang zaman dulu hanya tak ingin nasi kuning berceceran. Manis santannya dapat mengundang semut. Dan tidak ada yang suka dikerjai semut saat sedang asyik tidur.

Ada juga larangan menjual minyak tanah dan jarum di malam hari. Mitosnya, pedagang bersangkutan bisa bangkrut kalau melanggar. Padahal yang sebenarnya, aturan itu dibuat untuk mencegah minyak tumpah tersiram lampu-lampu teplok yang memang sering digunakan orang-orang zaman dulu. Hanya untuk menghindari kebakaran saja. Sementara soal jarum, itu cuma pencegahan biar benda berujung runcing itu tak melukai kaki orang—yang dahulu jarang mengenakan alas kaki.

***

“Tanam jarum-jarum itu di samping rumah. Pokoknya di tempat biasa dia lewat,” kata Pakuni Ramu, mengingatkanku kembali.

“Oke, Pakuni. Terima kasih.” Tangan kananku menganjurkan dua lembar uang seratus ribuan ke hadapan lelaki tua itu, sementara tangan kiriku masih menggenggam seikat jarum yang baru saja ia berikan.

“Sama-sama,” kata Pakuni Ramu, terkekeh senang.

“Tapi, ada satu lagi.”

“Apa?”

“Itu doti-doti…”

“Kenapa itu doti-doti? Tidak mempan?”

“Mempan, Pakuni. Cuma itu… saya taruh di kopi, si Winda so jadi ketagihan kopi sekarang.”

“Ah, efek samping itu. Lama-lama hilang.” Pakuni Ramu kembali terkekeh.

“Oh, baiklah.” Kataku sebelum akhirnya meminta diri.

Di halaman rumah dukun itu, aku tersenyum sendiri, membayangkan Pendi terbungkuk-bungkuk seperti batang korek yang kelamaan terbakar. Teluh yang akan aku tanam di pekarangan rumahnya, akan membuatnya separuh lumpuh.

Enak saja, mentang-mentang pamannya terpilih jadi bupati, ia menyalipku karierku di kantor. Tiba-tiba saja ia menjadi atasanku. Padahal yang lebih dulu jadi PNS itu aku.

Dan di atas segalanya, yang paling membuatku gusar adalah, dengan jabatannya itu dia merenggut perempuan yang aku sukai. Perempuan yang nyaris aku pacari.

“Nyaris pacaran dengan pacaran itu beda, Bro,” ejeknya, sehari setelah ia berhasil mengajak Winda ke bioskop beberapa bulan silam.

“Nyaris lumpuh dengan benar-benar lumpuh itu beda, Bos,” gumamku, dengan rasa geram yang masih menggumpal di dada. *

Gorontalo, Februari 2017

Catatan: 

Doti-doti: guna-guna, pemikat.

So: sudah.

2 respons untuk ‘Kucing Mati dan Perihal Lain yang Nyaris Terjadi

Tinggalkan Balasan ke hume Batalkan balasan