Menjelang Badai Pasir

ilustrasi-cerpen-koran-tempo-minggu-12-13-november-2016-karya-munzir-fadly

Ilustrasi Koran Tempo oleh Munzir Fadly

MELIHAT tamu asing itu makan dengan lahap, mau tak mau aku harus mengakui kebenaran kata-kata Sang Bapa: Ketenteraman hati dimulai dengan memberi makan orang lapar. Ini sungguh bukan tabiatku. Bukan kebiasaanku membiarkan orang asing masuk ke rumahku yang mungil ini, lalu menyuguhinya persediaan makanan terbaik yang aku punya.

Aku hanya mengikuti anjuran Sang Bapa untuk tidak menolak tamu. Menurut lelaki tua itu, seorang tamu seringkali akan memberikan berkah yang tidak pernah diduga-duga. Berkah yang bisa berbentuk harta benda, atau kabar gembira, atau setidaknya doa. Menjamu tamu, terutama yang sedang melakukan perjalanan jauh, juga adalah perkara yang bisa menyenangkan Tuhan. Sebuah cara untuk menunjukkan bahwa kita adalah hamba-Nya yang baik.

Tamu asing itu mengetuk pintu rumahku sore tadi. Tampak jelas ia adalah pengembara, meski aku tak begitu mengerti ia dari mana dan mau ke mana. Ia hanya mengatakan perutnya belum terisi selama seharian, dan cukup itu saja yang perlu kuketahui untuk mempersilakan lelaki muda itu masuk.

Demi Sang Bapa, ini adalah pertama kalinya aku membuka pintu rumahku kepada orang asing. Dan untuk pertama kalinya pula aku mengenyahkan dari pikiranku apa yang selama ini kusebut sebagai rasa iba yang sia-sia.

Benar aku saudagar, tapi bukan dari jenis yang makmur atau kaya raya. Setiap pekan aku mengunjungi para perajin di lereng-lereng gunung untuk membeli tembikar dan pelbagai barang kerajinan yang kemudian aku jual kembali di kota ini. Dahulu, berdagang patung kayu atau patung batu dapat memberi untung besar. Namun tidak saat ini.

“Tambah lagi?” Aku bertanya kepada orang asing itu. Ia duduk melantai di ruang tamu. Aku pun duduk dengan cara yang sama dalam posisi berhadap-hadapan dengannya. Aku bisa melihat matanya lebih riang dibanding ketika ia berdiri di depan pintu rumahku beberapa saat sebelumnya. Aku taksir umurnya hanya dua atau tiga tahun lebih banyak ketimbang separuh umurku.

“Sebenarnya sudah cukup. Tapi jika Tuan tak keberatan, saya butuh sesuatu untuk menyegarkan kerongkongan,” ujarnya sambil mengelap tangan pada jubahnya yang berbahan kasar.

Aku baru sadar kalau di meja makan hanya ada sekerat roti dan sepiring buah-buahan kering. “Apakah air bisa melegakan Anda?” tanyaku.

Lelaki asing itu menjawabku dengan anggukan. Mulutnya masih sibuk mengunyah makanan.

Aku pun memanggil Alama yang segera datang tergopoh-gopoh dari dapur. “Bawakan sebejana air untuk Tuan ini.”

Perintahku dibalas Alama dengan membalik badan untuk bergegas menuju tempat ia datang.

Perempuan enam belas tahun itu begitu sigap dan tak banyak omong. Sebelum ia menghilang di dapur aku membalikkan pandangan sehingga wajahku kembali berhadap-hadapan dengan wajah sang tamu. Aku mendapati lelaki itu sedang terpaku melihat bagian belakang tubuh Alama.

Aku berdehem pelan untuk menarik kesadarannya kembali.

“Ah, maaf, Tuan,” ucapnya meski aku tak menangkap sedikit pun rasa malu dari wajah dan suaranya.

“Tidak apa. Sayalah yang seharusnya minta maaf karena lupa menyajikan minuman untuk menutup makan siang Anda.”

Lelaki asing itu tersenyum, mengelus dada, lalu bersendawa. Ia mengucapkan syukur, kemudian menatap diriku dengan takzim. “Entah bagaimana saya membalas kebaikan Tuan,” ungkapnya kemudian. “Saya hanya bisa berdoa semoga Tuan dan putri—atau barangkali cucu—Tuan yang tadi, diberi limpahan rezeki oleh dewa-dewa.”

Brengsek, kataku dalam hati. Bagaimana dia bisa begitu meleset? Memangnya aku tak layak menikahi perempuan seumuran Alama?

“Anda salah sangka,” aku menanggapinya. “Perempuan tadi itu adalah istri saya.”

Ia memperlihatkan wajah terkejut yang entah mengapa terasa olehku terlalu berlebihan.

***

ALAMA datang sejurus kemudian membawa nampan berisi sebejana air dan dua buah cawan. Kesunyian canggung terjalin antara diriku dan tamuku.

Aku cepat-cepat menyuruh Alama kembali ke dapur selepas ia menaruh cawan-cawan di atas meja. Dan, lagi-lagi, lelaki asing itu menatapnya dengan tatapan yang melecehkan.

Aku kembali berdehem.

“Ah, maafkan saya, Tuan. Maafkan. Saya tak bermaksud menyinggung perasaan Anda,” ucapnya setengah tertawa sambil menggaruk bagian belakang kepalanya.

Aku berusaha menahan diri sembari mengingat-ingat sebuah ucapan Sang Bapa: Bertemanlah dengan musuhmu. Sayangilah orang-orang yang menyakitimu. Kalimat ini membuat aku ingat akan cerita tentang perlakuan kejam yang dialami Sang Bapa di masa muda. Karena pikirannya yang tajam, ia dicemooh orang-orang, ditangkap, dikeroyok, dan dibakar hidup-hidup. Tuhan yang Maha Pengasih menolongnya dengan cara memerintahkan api agar menjadi dingin. Namun, tetap hidup dengan tubuh yang utuh malah menggiringnya menuju siksaan batin yang lebih perih: dikutuk oleh Ayah sendiri dan diusir dari negeri.

“Saya benar-benar telah menyinggung perasaan Anda? Ah, maafkan saya. Kali ini saya sungguh-sungguh minta maaf,” ucap tamuku setelah tawanya berhenti. Kemudian secara perlahan ia menuang air dari bejana ke cawan tanpa menunggu perkenanku.

“Tidak apa,” jawabku dengan usaha untuk tersenyum. “Saya menebak Anda berasal dari tempat di mana anak-anak diajari untuk bicara terus terang. Benar, bukan?”

“Ah, Anda benar sekali.” Ia meneguk minumannya lalu mengusap sisa-sisa air yang menetes di bibir dan janggutnya. “Tapi kali ini kebiasaan bicara terus terang malah bisa membuat saya nyaris celaka sendiri agaknya.”

Aku mengangguk. Memang seperti itulah aturannya, batinku. Seorang pengembara seharusnya lebih berhati-hati menjaga mulut. Pengembara sejati adalah seorang yang membuka telinganya lebar-lebar dan menutup mulutnya rapat-rapat. Kecuali, saat menanyakan arah.

“Anda pasti belum lama jadi pengembara,” tebakku kemudian.

Tamuku tersipu. Ia seolah malu karena aku telah mengetahui sesuatu yang sedang ia sembunyikan. “Begitulah, Tuan,” akunya. “Belum sampai tiga bulan saya meninggalkan kampung halaman. Saya sendiri sebenarnya adalah petani. Awalnya kepergian saya adalah untuk suatu urusan. Akan tetapi, kemudian saya putuskan untuk mengembara beberapa lama sampai saya benar-benar pergi ke tempat yang saya tuju.”

“Apakah tempat yang Tuan tuju tersebut adalah kubus batu di kota ini?”

“Tidak, tidak. Ah, mengapa Tuan berpikir demikian? Apakah saya terlihat seperti orang yang percaya agama baru itu?”

Memangnya seperti apa ciri-ciri penganut agama baru, batinku. “Tidak, saya hanya menebak sembarangan. Tidak ada hubungan dengan penampilan Anda.”

Aku bersedekap. Untuk sesaat aku merasa telah kehabisan sesuatu untuk dibicarakan atau ditanyakan. Tiba-tiba aku ingat aku belum tahu nama lelaki tersebut. Lalu aku ingat akan perkataan orang-orang gurun yang memperkirakan datangnya badai malam itu. Aku baru akan membicarakan dua hal tersebut kepada tamuku sebelum ia tiba-tiba menanyakan sesuatu.

“Tuan sendiri sepertinya telah paham benar dengan dunia pengembaraan. Apakah Tuan dulunya adalah seorang pengembara?”

Agak terkejut juga aku mendengar pertanyaan yang sungguh tiba-tiba itu. Namun pertanyaannya tak ayal membuatku tersenyum simpul. Aku terkenang akan 30 tahun masa pengembaraanku. Ketika itu, encok dan badai pasir bukan menjadi hal yang paling aku khawatirkan.

“Saya dilahirkan sebagai anak petani, seperti Anda,” tuturku. “Namun di usia 25 tahun saya menyadari saya sama sekali tak cocok menjadi penarik tenggala. Jiwa saya adalah jiwa pengelana. Di kampung saya di selatan sana, sekitar 300 parsa dari sini, hidup bertetangga dengan banyak kerabat membuat saya kesulitan menyimpan barang-barang dan bahan-bahan makanan. Selalu saja ada yang harus disedekahi, dan saya selalu bekerja terlalu keras. Maka saya pun meninggalkan kampung. Menjauh dari para kerabat yang suka menghisap darah saudaranya sendiri itu. Sayang sekali, saya juga harus meninggalkan istri dan anak saya yang belum berumur lima tahun. Saya sebetulnya ingin sekali menjemput mereka dan mengajak mereka tinggal dengan saya di kota ini, namun tak pernah sempat.”

Aku memperhatikan sejenak raut wajah lelaki itu yang tampak sangat berminat mendengar kisahku. Kemudian aku melanjutkan. “Saya ikut dari satu karavan ke karavan lain. Berkeliling ke negeri-negeri jauh sambil berdagang apa saja. Saya paling suka berdagang patung-patung. Dulu, patung-patung itu begitu cepat laku, meski saya sendiri tak begitu percaya Tuhan.”

Kami berdua sama-sama tertawa.

“Lalu,” lanjutku, “di tengah perjalanan menuju suatu negeri di timur, di dekat sepasang bukit, seseorang dalam karavanku mendengar suara tawa bayi. Kami pun bergegas mendekati sumber suara tersebut. Tepat di antara dua bukit itu kami menemukan sebuah kemah dari kulit kibas. Di sisi kemah itu ada mata air yang baru digali. Dan di dalamnya ada seorang perempuan habsyi dan seorang bayi laki-laki.”

Lelaki asing itu mengangguk-angguk. “Saya pernah mendengar cerita ini.” Dia merenung sebentar sampai akhirnya menyimpulkan sesuatu. “Jadi, Tuan adalah satu dari beberapa pendiri kota suci ini?”

“Awalnya belum dianggap suci, sampai seorang lelaki dari sungai Eufrat membangun pusat peziarahan di tengah kota. Dia adalah suami perempuan habsyi itu. Aku memanggilnya Bapa, meski ia tidak terlihat lebih tua dariku. Ia mengajariku bahwa Tuhan ada, walaupun jumlahnya hanya satu.”

“Tidak masuk akal.”

***

AKU terkesima. Betapa tidak beradabnya lelaki ini. Mulutnya benar-benar bisa mencelakai dirinya sendiri. Ingin benar aku berdiri, menghajar manusia kurang ajar ini dan menyuruhnya pergi dari rumahku. Tapi, lagi-lagi, bayang-bayang Sang Bapa yang begitu berkharisma mencegahku membalas kekasaran dengan kekasaran.

“Mengapa kamu tak percaya Tuhan?”

“Bukan. Maksud saya, tak masuk akal kalau Tuhan hanya satu. Bagaimana mungkin hanya ada satu Tuhan untuk mengatur dunia dengan jutaan masalahnya ini?”

Aku rasakan urat-uratku yang barusan tegang mulai mengendur. Aku mulai kembali sadar bahwa aku sedang berhadapan dengan orang asing. Orang yang belum sempat aku ketahui betul latar belakangnya. Di negeri-negeri yang jauh orang-orang masih menyembah patung-patung, batu-batu, pohon-pohon, dan matahari. Dalam hati aku mensyukuri anugerah kesabaran yang diberikan Tuhan kepadaku. Juga anugerah pengetahuan dan keimanan yang kukuh ini.

“Ya, memang itu satu hal yang sering saya dengar diperdebatkan orang dengan Sang Bapa. Namun, kata Sang Bapa, jika Tuhan benar-benar Tuhan, jika Dia benar-benar Mahakuasa, tentu dunia ini begitu kecil dan gampang diurus.”

Ia diam seraya tersenyum kecil, seolah menyetujui kata-kataku.

“Lagi pula, coba pikir, bagaimana bisa orang menyembah sesuatu yang lemah, yang tak mampu, dan saling membinasakan? Sesuatu yang dapat tenggelam seperti bintang, dapat redup seperti bulan, dapat dihancurkan seperti patung-patung? Saya sendiri akhirnya berhenti berdagang patung, dan tak lagi mengembara. Saya menikahi Alama dan hidup tenang di kota ini. Banyak peziarah yang membeli cendera mata sebelum kembali ke tempat asal masing-masing. Itu sudah cukup untuk menghidupi saya dan istri saya.”

Lelaki itu meneguk secawan air lagi sebelum akhirnya berkata pelan, “Dia menyuruh kalian meninggalkan kepercayaan leluhur.”

“Kepercayaan yang keliru,” ujarku mantap.

“Ya, lantas dengan kepercayaan baru itu ia menyuruh Anda mencampakkan patung-patung, lalu ia sendiri membangun kubus besar untuk didatangi sepanjang tahun. Apakah naluri pedagangmu sedang tidur sehingga tidak menyadari tipuan yang begitu licin ini?”

“Dia bukan pedagang, Anak Muda….”

“Tampaknya iya menurutku. Paling cerdik yang di antara semua yang aku ketahui,” lelaki itu mencondongkan tubuhnya, menatap inti mataku lekat-lekat. “Dengan membawa nama Tuhan dia menyingkirkan para pedagang patung. Menyingkirkan para pesaing yang bisa saja merintangi jalan rezekinya. Dia menciptakan satu Tuhan untuk memonopoli berkah. Mungkin ia bersedia memberi kalian sedikit keuntungan. Yah, sedikit recehan.”

“Ah, Anda bilang begitu karena kau tidak kenal betul siapa Sang Bapa.”

“Memangnya Anda kenal betul siapa dia?”

Aku menarik napas dalam seolah apa yang bakal aku katakan merupakan sebuah pengakuan yang akan membuat dunia bertambah berat. “Saya yakin, Sang Bapa adalah sebenar-benar orang suci utusan Tuhan. Ia adalah nabi. Tuhan sendiri yang memberikan mukjizat kepadanya. Ketika Tuhan memerintahkan ia menyembelih….”

Belum selesai aku bercerita, tiba-tiba pecahlah suara tawa lelaki itu. Aku menatapnya tajam, sementara ia menahan perutnya yang terguncang-guncang. “Aku sudah pernah mendengarnya. Itu cerita paling konyol yang pernah aku dengar,” ujarnya sambil tergelak lebih keras.

Aku rasakan pipiku bertambah panas dan urat-urat leherku kembali tegang. Ia sudah keterlaluan. Sangat keterlaluan. “Cukup! Dari tadi kau menghinaku, aku bisa terima. Lalu kau menghina istriku, aku pun masih bisa terima. Tapi kali ini kau menghina orang yang aku hormati.”

Aku mendengus sambil membereskan bejana dan cawan bekas minum tamu tak tahu diuntung itu. “Asal kau tahu, jika saja aku bukan penganut ajaran Sang Bapa, mungkin saat ini kau telah mati kelaparan di luar sana.”

“Ya, aku yakin itu,” ia menimpali sambil memperbaiki kerut jubahnya. “Aku harus berterima kasih kepadanya. Ajarannya tentang sikap murah hati dan menolong sesama itu mulia dan baik sekali. Tapi, perbuatannya meninggalkan istrinya di padang gurun hanya untuk diserahkan kepada Tuhan… bagaimana ya? Sepertinya terlalu kejam dan tidak bertanggung jawab. Aku tidak bisa menghormati orang semacam itu.”

Lelaki asing itu kemudian berdiri.

“Sekali lagi aku berterima kasih atas jamuanmu yang baik ini. Kau boleh berbangga dan berbahagia menjadi penganut ajaran baru itu. Kau akhirnya mempercayai Tuhan, meninggalkan sifat kikir, menjamu orang asing yang butuh bantuan. Sungguh mulia.”

Aku diam merasakan ejekan dalam kalimatnya.

“Lalu kau mengambil istri lebih dari satu, seperti dia. Mengabaikan istri yang lama, seperti dia. Mungkin kau juga berminat pura-pura menyembelih aku untuk kau tukar dengan seekor kibas?”

“Aku tak mengerti,” ucapku sedikit tergagap.

Lelaki itu tersenyum, lalu mendekatiku dan menepuk pundakku. “Aku akan bilang pada Ibu untuk tak lagi menunggumu,” ujarnya sebelum keluar tanpa menutup pintu. Agak gelap di luar tapi aku bisa melihat ia meneruskan perjalanan ke arah selatan.

Dalam bingung, aku menutup pintu. Pikiranku yang sudah uzur ini butuh waktu cukup lama untuk mencerna segalanya. Dan ketika aku telah berhasil menyimpulkan sesuatu, gemuruh hebat terdengar di luar. Badai pasir telah datang.

Gorontalo, Oktober 2016

Parsa, ukuran perkiraan jarak dalam tradisi orang Ibrani; sekitar 4 kilometer.

(Terbit di Koran Tempo, 12-13 November 2016)

Tinggalkan komentar